Kejagung Jelaskan Tidak Ada Oplosan dalam Dakwaan Korupsi BBM
Table of content:
Kejaksaan Agung mengeluarkan klarifikasi terkait penggunaan istilah dalam dakwaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan impor bahan bakar minyak (BBM) dan penjualan solar nonsubsidi. Dalam konferensi pers yang digelar, Kepala Pusat Penerangan Hukum menyebutkan bahwa kata ‘oplosan’ tidak tepat digunakan dan harusnya diganti dengan istilah ‘blending’. Istilah ini merujuk pada pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan yang berbeda, yang dilakukan secara teknis.
Menurut Anang Supriatna, istilah ‘blending’ lebih akurat untuk menggambarkan cara produksi BBM saat ini. Dia menegaskan bahwa tidak ada lagi istilah oplosan, melainkan semua kegiatan pencampuran dilakukan dengan teknik yang sesuai dan profesional.
Pernyataan ini disampaikan dalam konteks persidangan yang terkait dengan dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian hingga Rp285 triliun. Kejadian ini menandai dimulainya babak baru dalam kasus yang melibatkan beberapa terdakwa dan dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan BBM.
Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Impor BBM yang Menghebohkan
Persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta telah menarik perhatian banyak pihak. Empat individu dihadapkan ke pengadilan terkait dugaan korupsi ini, dan pembacaan dakwaan dilakukan secara berurutan. Di sesi awal, hanya tiga dari empat terdakwa yang dibacakan dakwaannya.
Keempat terdakwa itu terdiri dari Riva Siahaan, Maya Kusmaya, dan Edward Corne, yang terlibat dalam pengadaan dan penjualan BBM. Riva adalah Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, sedangkan Maya adalah Vice President Trading PT Pertamina Patra Niaga.
Edward Corne sendiri merupakan Assistant Manager dalam trading dan memiliki peran kunci dalam pengadaan solar. Kasus ini semakin rumit karena dugaan adanya perlakuan istimewa terhadap dua perusahaan dalam proses tender.
Perlakuan Istimewa dalam Proses Tender BBM yang Diduga Melawan Hukum
Jaksa mengungkapkan bahwa dalam proses lelang untuk pengadaan gasoline RON 90 dan RON 92, ada indikasi bahwa Edward Corne membocorkan informasi kepada dua perusahaan, yaitu BP Singapore dan Sinochem International. Kejadian ini menimbulkan kecurigaan bahwa lelang tidak dilakukan secara transparan.
Informasi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan ini diduga bukan hanya meliputi detail pengadaan, tetapi juga tambahan waktu untuk penawaran. Hal ini jelas melanggar prinsip persaingan yang sehat dalam bisnis pengadaan publik.
Edward kemudian merekomendasikan kedua perusahaan tersebut sebagai calon pemenang tender, dan usulan ini diteruskan kepada atasannya, Riva Siahaan. Proses ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengadaan yang ada dan memunculkan sejumlah pertanyaan tentang integritas para pejabat yang terlibat.
Dampak Kerugian yang Dialami oleh Perusahaan Negara
Jaksa menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh para terdakwa tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menaikkan harga solar/biosolar untuk konsumen industri. Hal ini menjadi masalah serius, apalagi dalam konteks harga komoditas yang selalu berubah dan berpengaruh langsung terhadap masyarakat.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Riva Siahaan diduga menyetujui harga jual solar/biosolar tanpa mempertimbangkan nilai jual terendah. Ini mengakibatkan PT PPN menjual produk dengan harga di bawah biaya pokok penjualan.
Dari total 14 perusahaan yang terlibat dalam transaksi ini, mereka mendapatkan solar dengan harga jauh di bawah harga pasar. Situasi ini menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam regulasi dan pengawasan pengadaan BBM di Indonesia.








