Polda Bali Tetapkan Enam Tersangka Kasus Perdagangan Orang di Pelabuhan Benoa
Table of content:
Polda Bali baru-baru ini telah menetapkan enam orang tersangka dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), di mana puluhan orang menjadi korban di Pelabuhan Benoa, Denpasar. Kasus ini menarik perhatian karena modus operandi yang dilakukan oleh para tersangka menunjukkan praktik yang tidak manusiawi dan melanggar hukum yang serius.
Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Ariasandy, mengonfirmasi bahwa keenam tersangka tersebut ditangkap pada 16 Oktober 2025 dan kini mereka menjalani penahanan di Rumah Tahanan Polda Bali. Penangkapan ini menunjukkan komitmen polisi dalam memberantas kejahatan perdagangan orang di Bali yang semakin meresahkan.
“Sudah ada enam orang tersangka yang kami amankan,” ujar Ariasandy kepada wartawan di Denpasar. Penangkapan ini menjadi langkah penting dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap korban TPPO yang semakin meningkat di berbagai daerah.
Proses Penangkapan dan Identifikasi Tersangka
Keenam tersangka terdiri dari tiga individu, di antaranya adalah MAS, JS, R, TS, dan IPS, yang merupakan oknum anggota kepolisian Polda Bali. Kombes Ariasandy menjelaskan bahwa masing-masing tersangka memiliki peran spesifik dalam jaringan ini, mulai dari rekrutmen hingga pengawasan terhadap para calon korban kerja di kapal.
Peran yang dimaksud mencakup pencarian calon melalui agen, penertiban dokumen pelaut, hingga aksi perekrutan yang dilakukan oleh oknum penjabat berinisial IPS. Ia juga memiliki tugas merencanakan dan berkoordinasi dengan agen perekrut, menunjukkan bahwa keterlibatan oknum kepolisian dalam kasus ini sangat memprihatinkan.
Modus operandi tersangka dalam merekrut anak buah kapal (ABK) sangat kental dengan janji-janji manis. Mereka menawarkan gaji yang tinggi, namun pada kenyataannya banyak yang terjerat utang dan mengalami eksploitasi di tempat penampungan yang tidak layak.
Modus dan Perlakuan yang Diterima Korban
Praktik kejam ini melibatkan perjanjian yang tidak transparan dan perlakuan yang tidak manusiawi saat para korban berada di lokasi penampungan. Ariasandy menjelaskan bahwa beberapa korban tidak mendapatkan tempat yang layak untuk beristirahat, tidak ada fasilitas MCK, dan makanan yang disediakan pun tidak mencukupi.
Para tersangka memanfaatkan kondisi sulit para pencari kerja untuk meraih keuntungan pribadi yang besar. Ketidakjelasan di dalam perjanjian kerja menyebabkan banyak korban merasa tertipu dan semakin terjebak dalam situasi berbahaya ini.
Budaya mencari kerja di sektor maritim sering kali menyimpan risiko besar, terutama bagi mereka yang kurang memahami aspek legal maupun perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan. Iming-iming gaji tinggi pun menjadi perangkap bagi banyak orang yang berharap mendapat pekerjaan yang layak.
Peran Polda Bali dalam Penanganan Korban TPPO
Polda Bali tidak hanya fokus pada penangkapan para pelaku, tetapi juga berkolaborasi dengan lembaga hukum untuk membantu para korban. Polisi berkoordinasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memastikan bahwa para korban menerima bantuan hukum yang diperlukan.
Selain itu, untuk membantu pemulihan psikologis para korban, pihak kepolisian telah memfasilitasi perawatan psikologi bagi mereka yang mengalami trauma akibat pengalaman buruk tersebut. Sebanyak 21 orang telah didata sebagai korban TPPO dalam kasus ini.
Kepolisian juga memberikan perhatian khusus dengan menyerahkan para korban kepada Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk dipulangkan ke rumah masing-masing. Ini menunjukkan bahwa Polda Bali berkomitmen untuk tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memberikan perlindungan kepada para korban yang sangat membutuhkan.








