Penangkapan dan Penetapan Tersangka Paul Ugal-ugalan
Table of content:
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya menyoroti tindakan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Muhammad Fakhrurrozi alias Paul sebagai sebuah langkah yang tidak sesuai prosedur. Menurut mereka, tindakan ini mencerminkan kebijakan aparat yang ugal-ugalan, bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan.
Pada 27 September 2025, Paul ditangkap secara paksa di rumahnya di Yogyakarta pada pukul 14.30 waktu setempat. Penangkapan tersebut dilakukan oleh aparat yang tak mengenakan seragam, dan melibatkan pihak kepolisian dari Polda Jawa Timur.
Saat penangkapan, polisi melakukan penyitaan terhadap sejumlah buku dan perangkat elektronik milik Paul, langkah yang menurut YLBHI-LBH Surabaya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan pertimbangan yang lebih dalam mengenai hak individu.
Prosedur Penangkapan yang Tidak Tepat Menurut Hukum
Menurut Direktur YLBHI-LBH Surabaya, Habibus Shalihin, penangkapan Paul tidak sesuai dengan Pasal 17 KUHAP. Pasal ini menegaskan bahwa penangkapan harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sebelum tindakan lebih lanjut diambil.
P setelah penangkapan, Paul dibawa ke Polda DI Yogyakarta sebelum dipindahkan ke Polda Jawa Timur tanpa pendampingan hukum. Hal ini melanggar haknya untuk mendapatkan pendampingan, yang merupakan bagian penting dari perlindungan hukum.
Setibanya di Polda Jawa Timur, Paul harus menjalani proses interogasi awal sambil menunggu tim hukum dari YLBHI-LBH Surabaya yang telah ditunjuk. Namun, interogasi dimulai pada larut malam, menjadikan situasi ini semakin meragukan dari segi keadilan.
Persoalan Proses Hukum yang Berlarut-larut dan Tidak Transparan
Habib menyatakan bahwa pemeriksaan Paul dimulai sekitar pukul 00.30 WIB dan berlangsung maraton hingga pagi keesokan harinya. Praktik seperti ini mempertanyakan komitmen kepolisian terhadap prosedur hukum yang berlaku dan kesehatan individu yang terlibat.
Di dalam pemeriksaan, Paul diinformasikan telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan suatu laporan polisi terkait kasus aktivis lain di Kediri. Namun, substansi dari laporan serta alasan di balik penetapan tersangka ini patut dipertanyakan.
Aparat kepolisian seharusnya memiliki minimal dua alat bukti yang kuat sebelum melakukan penangkapan. Namun yang terjadi adalah penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat dan prosedur yang jelas.
Implikasi Terhadap Hak Asasi Manusia dan Komitmen Internasional
Penangkapan yang dinilai sewenang-wenang oleh YLBHI-LBH Surabaya jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menegaskan pentingnya proses yang sah dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
Lebih lanjut, Pasal 9 Ayat 1 dari kovenan ini menekankan bahwa tidak ada seorang pun boleh ditahan tanpa alasan yang jelas. Tindakan sewenang-wenang tentu berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Aturan internal kepolisian, yang berfokus pada perlindungan hak internasional, seharusnya diimplementasikan dengan seksama. Penyimpangan dari standar ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan ketidakpuasan dalam masyarakat.
YLBHI-LBH Surabaya mendesak Kapolda Jawa Timur untuk membebaskan Paul. Mereka juga meminta agar Komnas HAM melakukan pengawasan menyeluruh terhadap tindakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap aktivis pro-demokrasi, dengan menekankan pentingnya akuntabilitas dalam tiap tindakan hukum.
Selain itu, mereka mendesak Ombudsman RI untuk melakukan pemantauan terhadap kasus ini sehingga tidak terjadi lagi tindakan serupa di masa mendatang. Pengawasan dari Kompolnas juga diperlukan sebagai langkah preventif agar proses hukum berjalan sesuai dengan yang seharusnya.









